CLICK HERE FOR FREE BLOG LAYOUTS, LINK BUTTONS AND MORE! »

Selasa, 20 November 2012

SEPENGGAL KATA MAAF DARI AYAH


Sosok ayah adalah orang yang paling berjasa setelah ibu kita pastinya. Bagi Ringgo yang sejak kecil tidak pernah mengetahui sosok ayahnya, ia menganggap bahwa hanya ibunyalah yang  berjassa untuk hidupnya. Jelas sekali, karena ia begitu paham bagaimana perjuangan ibunya untuk membiayai hidup mereka berdua dengan berjualan sayur dipasar.

Ringgo tidak pernah tahu siapa ayahnya, ibunyapun enggan memberitahunya. Sejujurnya ia tidak ingin tahu siapa ayahnya, karena ia merasa tak ada gunanya mengetahui orang yang juga tidak pernah bertanggungjawab atas hidupnya dan ibunya.

Aku tidak butuh ayah, ia hanya orang yang tidak bertanggungjawab. Orang yang paling kubenci keberadaannya. Sekalipun aku bertemu dengannya, hanya akan kumaki dan kuberi dia pelajaran bagaimana kerasnya perjuangan ibuku selama ini.


“Ma, Ringgo berangkat kerja dulu ya. Hari ini ada meeting dadakkan, dan ingat ya Mama tidak boleh jualan lagi dipasar. Anakmu ini sudah mampu membiayai seluruh hidup kita” pamit Ringgo kepada mamanya yang sudah duduk didepan teras dengan alat rajut ditangannya. “Ringgo, mama juga sudah cape kok. Enggak akan deh mama jualan lagi dipasar. Lagian anak mama ini kan sudah jadi bos besar, iya enggak? Pasti bisa dong bahagiain mama. Bercanca kok nak” timpal Risma, ibunda Ringgo dengan candaannya seperti biasa.

Hari ini adalah hari minggu, tetapi Ringgo masih harus keluar rumah untuk meeting dadakkan dengan client dari perusahaan asing yang akan menjadi investor bagi proyek perusahaannya. Ringgo memang anak yang pekerja keras dan rajin. Semenjak SMP ia selalu mendapat beasiswa dan loncat kelas. Ia lulus SMA ketika umurnya baru 15 tahun dan dapat menyelesaikan S1nya di Jerman hanya selama 3 tahun dengan beasiswanya. Setelah lulus ia diterima diperusahaan Asing di Jakarta.

Hidupnya memang sudah berubah. Dari yang dulu serba kekurangan dan sekarang menjadi serba berkecukupan. Ia selalu berpikir bahwa ia memang benar-benar tidak butuh ayahnya, karena tanpa ayahnyapun ia bisa sesukses sekarang dengan kerja kerasnya sendiri dan tentu saja dengan banyaknya pengorbanan dan perjuangan dari sang ibunda tercinta.

“hmm... sepertinya cukup sampai disini pembicaraan kita, saya harap kerjasama kita akan berjalan lancar”. “ya, saya harap juga begitu, kalau begitu saya pergi dulu pak Ringgo. Sampai bertemu lagi”. Ya... untuk kesekian kalinya Ringgo berhasil meyakinkan calon investornya. Dengan kecakapannya dalam berbicara , siapapun yang berhadapan dengannya mampu ia takhlukkan. 

Sepulang dari rapat tersebut ia mau mampir dulu ke toko roti dekat kantornya. Ia ingin membeli kue ulang tahun karena hari ini adalah hari ulang tahun ibunya. Namun saat ia sedang menyetir tiba-tiba ada orang yang berjalan didepan mobilnya dan hampir saja ia tabrak. “an,,,anda tidak apa-apa?” kata Ringgo saat ia keluar mobil dan menghampiri orang yang ia tabrak itu. “ti..tidak apa-apa nak, bapak yang salah karena tidak hati-hati jalannya” jawab orang yang Ringgo tabrak, orang tersebut sangat lusuh penampilannya, sepertinya orang itu adalah pengemis. Saat bapak itu melihat kearah Ringgo, ia seperti terkejut namun langsung pergi begitu saja,yang akhirnya membuat Ringgo semakin bingung melihat tingkah bapak itu. 

Ya ampun, aneh banget sih itu bapak. Emangnya mukaku seseram itu ya? Sampai membuat dia lari saat melihatku. Hah.. ya sudahlah enggak penting juga.

*****

Saat ia sampai dirumah, ia terhenti didepan pintu rumahnya. Saat ia akan masuk, ia mendengar ibunya sedang berbicara dengan seorang yang sepertinya adalah laki-laki. Dan saat ia mengintip dari balik jendela, ternyata memang benar ibunya sedang berbicara dengan seorang laki-laki paruh baya yang berpakaian lusuh. Ia tidak dapat melihat wajah laki-laki itu, karena posisi orang itu membelakangi Ringgo.

“Ringgo tidak pernah tahu siapa ayahnya, tidak pernah tahu seperti apa wajah ayahnya. Lalu kau datang sekarang saat ia sudah sukses, mana mungkin dia mau menerimamu. Bahkan dia sendiri tidak ingin tahu siapa ayahnya. Kau sudah menorehkan luka dalam hati anak kita” Suara ibu Ringgo yang setengah terisak membuat Ringgo yang saat itu sedang menguping pembicaraan ibunya, sangat kaget mendengar yang baru saja ibunya ucapkan. 

Ja.. jadi orang itu, orang itu adalah ayahku. Enggak, ini pasti cuma mimpi kan. Enggak mungkin orang yang sudah menelantarkanku datang untuk menemuiku saat aku sudah seperti ini

Ringgo tidak bisa menahan emosinya saat itu juga. Rasa amarah yang sudah memuncak tidak dapat lagi ia tahan, saat ia melihat orang yang telah menelantarkan dia dan ibunya ada dihadapannya. Langsung saja Ringgo masuk kedalam rumah sambil berteriak. “MA! APAKAH ORANG INI ADALAH AYAHKU” dan sambil berteriak kearah ibunya, ia melihat wajah laki-laki itu, yang ternyata adalah orang yang ia hampir tabrak tadi pagi.

Ada apa ini? Kenapa banyak sekali kebetulan hari ini? Orang ini adalah orang yang hampir kutabrak tadi? Dia ayahku? Kenapa tidak kutabrak saja sekalian.

“Nak Ringgo” panggil bapak tua itu kepada Ringgo yang dibalas tatapan jijik dimata Ringgo. “Apa? anda panggil saya nak? Apa anda merasa pantas memanggil saya nak? Hah?”. “Ringgo cukup, iya memang dia adalah ayahmu. Memang dia telah menelantarkan kita, tetapi kamu tidak pantas berkata seperti itu nak”. “Persetan dengan itu! Aku sudah jijik dengan dia! Lebih baik bapak pergi dari sini” perintah Ringgo sambil mendorong tubuh tua laki-laki dihadapannya itu dengan kasar. “Ringgo, maafkan ayah. Ayah tahu ayah berdosa sama kamu dan ibumu. Ayah hanya butuh maaf dari kalian, itu saja cukup”. “MAAF? Untuk apa saya memaafkan anda? Saya tidak perduli dengan anda. Cepat keluar dari rumah saya ini” teriak Ringgo sambil mendorong tubuh tua itu dengan keras keluar rumah, lalu menutup pintu rumah dengan keras didepan wajah pria tua itu.

“Ring.. Ringgo, ayah hanya mau minta maaf. Ayah tahu kamu sangat benci dengan ayah. Tetapi tolong maafkan ayah, umur ayah sudah tak lama” teriak pria tua itu dari luar rumah. Ringgo tidak menggubris teriakkan pria tua itu.

“Ma, kenapa mama membiarkan laki-laki sialan itu masuk kerumah kita? Harusnya mama usir saja. Seumur hidupku, aku sangat tidak ingin mengetahui siapa orang yang telah menyia-nyiakan kita ma, harusnya mama mengerti itu” Ringgopun memulai pembicaraan dengan mamanya. Namun mamanya hanya terdiam, lalu membuka tirai jendela untuk melihat keadaan mantan suaminya itu.

Dalam hati Risma, mantan suaminya itu masih memiliki ruang tersendiri disudut-sudut hati yang telah rapuh oleh kerasnya kehidupan itu. Walau memang menyakitkan bila mengingat saat-saat bagaimana mantan suaminya tersebut mengusir dan menceraikannya demi wanita lain disaat ia sedang mengandung Ringgo. Bagaimana ia melahirkan buah hatinya sendirian tanpa suami disampingnya. Semuanya memang memilukan dan berat untuk seorang wanita yang telah merasakan beratnya kehidupan. Namun saat lelaki yang pernah menjadi satu-satunya pria yang ia cintai dan menjadi laki-laki yang telah menyisakan luka dihatinya datang kembali, Risma tidak bisa untuk tega mengusirnya. Setidaknya ia masih memiliki sedikit rasa terhadap laki-laki itu. 

“maafkan aku Risma, aku memang laki-laki biadab. Aku telah mengusirmu yang saat itu sedang mengandung anak kita. Kau lihat sekarang aku sudah tidak punya apa-apa. Aku hanya pemulung dan pengemis sekarang. Semua hartaku raib dibawa pergi wanita itu. Aku datang kemari bukan untuk minta dikasihani oleh kamu ataupun anak kita Ringgo. Tetapi aku hanya ingin meminta maaf dari kalian, waktuku sudah tak lama lagi Risma. Aku hanya ingin disaat-saat terkhirku mendapat maaf dari orang yang telah kusia-siakan. Terutama untuk Ringgo”

Kata-kata mantan suaminya itu masih terngiang-ngiang dibenak Risma. Ia tak pernah membenci mantan suaminya itu, tak sedikitpun rasa kebencian ada dipikirannya. Yang ada hanya kekecewaan, namun sekarang rasa kecewanyapun sudah berganti dengan rasa kasihan. 

“Ringgo, dia hanya ingin kamu maafkan nak. Kamu dengar sendiri kan, dia hanya ingin maaf dari kamu. Sekarang dia akan berada diluar rumah sampai kamu memafkannya nak. Kalau kamu berbuat seperti ini, apa bedanya kamu dengan dia? Kamu akan durhaka nak. Mama tidak mau kamu jadi anak durhaka” kata Risma sambil menitikan air mata yang sudah sedari tadi ia tahan dipelupuk matanya. Ringgo diam seketika, sejujurnya perasaannya menentangnya untuk melakukan hal tadi, tetapi logikanya tidak bisa menerima segalanya. 

“Mama, mungkin mama memang bisa memaafkan dia. Itu karena mama masih cinta sama dia. Tetapi aku enggak ma, aku benci dia dan aku enggak akan pernah memberi maaf kepada orang itu. Biarin aja orang itu kelaparan dan kedinginan diluar, aku enggak perduli”. Ringgopun langsung masuk kekamarnya, membenamkan dirinya dikasur dan mulai menitikan air mata. Hatinyapun sudah rapuh untuk hal semacam ini, ia tidak bisa menerima perbuatan ayahnya. Namun ia juga sedikit bahagia bisa melihat wajah ayahnya sendiri.

Keesokkan harinya saat Ringgo akan berangkat kerja, saat ia akan mengeluarkan mobilnya dan membuka pintu gerbang, ayahnya sedang meringkuk kedinginan didepan pintu pagarnya. Wajahnya yang penuh kerutan yang menandakan seberapa lama lelaki itu telah menghadapi kerasnya kehidupan. Dan pakaiannya yang teramat lusuh, yang memperjelas bagaimana hidup yang sedang ia jalani. Semua itu dilihat oleh Ringgo, hatinya sudah tidak kuasa menahan segala keharuan itu. Rismapun keluar dari dalam rumah dan melihat anaknya memandangi lelaki tua berpakaian lusuh didepan pagar rumahnya itu dengan wajah penuh kesedihan.

Ringgo menitikan air mata saat itu juga, namun ia hanya diam ditempat menyaksikan pria itu masih memejamkan matanya. “Ringgo, mama tahu kalau kamu tidak sejahat itu. Maafkan saja ayahmu, ia telah mengakui kesalahannya. Maaf dari kamu sangat berarti bagi dia nak”. Kata Risma saat ia sudah berada disamping putranya itu.

Ringgopun berlutut didepan pria itu dan mulai menyentuh tangan pria itu. Dingin, badan pria itu sangat dingin dan wajahnyapun pucat pasi. “ayah, bangun yah. Ringgo sudah maafin ayah, Ringgo juga minta maaf yah” kata Ringgo seraya mengoyang-goyangkan tubuh ayahnya. Namun ayahnya masih tidak bangun juga. “ma, kok ayah enggak bangun ? badannya juga dingin, apa mungkin ayah sudah...” Ringgo tidak dapat melanjutkan kalimat selanjutnya. Dia tidak bisa percaya kalau ayahnya mungkin sudah tiada. “coba kamu pegang nadinya, masih berdenyut atau tidak. Kita bawa kerumah sakit aja ya”. Ringgopun memengang nadi pria tua itu, dan ternyata masih berdenyut. Akhirnya Ringgo dan Risma membawa pria itu kerumah sakit terdekat.

*****

Dokterpun keluar dari kamar pasien dimana pria tua itu dirawat. “kalian keluarga dari bapak tersebut” tanya dokter terbut kepada Ringgo dan Risma. “iya dok, saya anaknya. Bagaimana keadaaannya dok?”. “bisa kamu dan ibumu ikut saya keruangan?”. Risma dan Ringgopun mengikuti dokter keruanggan dokter tersebut.

“bapak anda terkena hipotermia, namun masih bisa selamat. Tetapi penyakit kanker otaknya tidak bisa ditolong. Sudah sampai stadium akhir, hidupnya mungkin sebentar lagi. Saya tidak tahu sudah seperti apa ayah anda menahan sakitnya. Tetapi ini sudah sangat parah dan sudah susah untuk ditolong. Anda dan ibu anda hanya bisa berdoa saja.”. kata-kata dokter sangat membuat kedua orang yang berada dihadapannya kaget bukan main. Mata Ringgo yang membesar menandakan bagaimana ia terkejut dengan kenyataan ini. Ia langsung keluar dari ruang dokter tersebut dan berlari keruang ayahnya dirawat.

Risma yang terkejut juga hanya bisa diam dan menangis sekencang-kencangnya diruang dokter. Hatinya sudah benar-benar lelah menghadapi pahitnya kenyataan hidup. Semuanya sudah sangat memuakkan untuknya. “Mas Anggoro, kamu bodoh mas. Kamu bodoh, kenapa kamu dulu sia-siakan aku demi wanita yang akhirnya menyakitimu. Sekarang kamu kembali dan akan pergi secepat ini? Ya Tuhan, kenapa harus begini?” teriak Risma yang sudah tidak bisa menahan segalanya lagi. Dokter hanya bisa melihat wanita tua yang sedang meratapi hidupnya.

Ringgo masuk keruang ayahnya dirawat. Melihat pria tua yang kemarin ia usir dan bentak terbujur lemah didepannya. Ia menyesal, tak ada kata-kata yang dapat menggambarkan suasana hatinya. Ringgo mendekati ayahnya, berlutut didepan ayahnya berada. “ayah, Ringgo sudah maafin ayah. Ayah enggak boleh mati secepat itu, ayah masih harus nemenin Ringgo sama ibu. Ayah masih harus bayar segala kesalahan ayah”. Saat Ringgo mulai berbicara, lelaki tua itu terbangun dan memgang tangan anaknya itu. 

“maafin ayah nak, ayah tidak bisa membayar semua kesalahan ayah. Ayah akan pergi lagi”. “mas! Jangan bicara sembarangan, kita enggak pernah tahu sampai kapan umur kita. Itu kuasa Allah mas. Kamu pasti bisa bertahan” tiba-tiba saja Risma datang menyela pembicaraan antara Ringgo dan Anggoro. “Risma, itu tidak mungkin. Akupun sudah lelah, aku hanya ingin melihat kalian bahagia dan bisa memaafkan aku”. 

Sejenak semuanya diam, namun tiba-tiba Anggoro memegang tangan anaknya dan Risma dengan kencang. Seperti ingin melepas semua beban ditubuhnya, ia memejamkan matanya lalu berkata “Maaf” dengan suara yang lirih menyayat hati siapapun yang mendengarnya. Lalu genggaman itu melemah dan terlepas. Risma dan Ringgo berpandangan satu sama lain. “ENGGAK! Ayah bangun ayah! Ringgo sudah maafin ayah, ayah enggak boleh pergi gitu aja!” Ringgo mengguncang tubuh ayahnya, seakan ayahnya akan kembali bangun dan bilang ia hanya bercanda. Namun ayahnya hanya terbujur kaku, membuat Risma berlari keluar memanggil dokter.

Tetap saja saat dokter datangpun, dokter hanya bisa memberikan pernyataan yang tak ingin didengar kedua orang itu. “pasien sudah meninggal” kalimat yang membuat Ringgo dan Risma lemas mendengarnya. Semua seperti petir disiang bolong saat itu.

*****

Pemakaman dilaksanakan keesokkan harinya. Yang hadir hanya Ringgo dan Risma. Anggoro tidak memiliki keluarga, ia anak yatim piatu yang dibesarkan di panti asuhan. Ringgo tidak bisa berkata, hanya diam melihat sosok ayahnya dimasukkan keliang lahat. Membayangkan perbuatannya kepada sang ayah , mengusirnya, membentaknya. Membuat hati Ringgo tersayat penuh arti.

Untuk Ringgo dan Risma, hidup harus berjalan walaupun penuh dengan beban yang tak akan pernah ada habisnya. Dan untuk Anggoro, saya yakin ia telah bahagia dialamnya.

Ini adalah pelajaran untuk kita, bahwa seperti apapun dan bagaimanapun orang tua kita jangan pernah kita menghakiminya. Apapun yang mereka lakukan, mereka tetap orang yang berjasa untuk hidup kita. Ayah dan Ibu, mereka sama berjasanya. Kita harus bisa menyayangi keduanya. Memang ini kalimat yang klise, tetapi inilah kenyataannya. Jangan sampai seperti Ringgo yang menyesal diakhir cerita.


0 komentar:

Posting Komentar